Setiap tahun, ketika Muharram menapak pada tanggal ke-9 dan 10, ada getar halus yang sering kali luput dari perayaan. Bukan suara trompet atau gema takbir, melainkan waktu yang mengalir perlahan, membawa catatan-catatan lama yang pernah ditulis oleh tangan-tangan tak terlihat.
Pada suatu masa yang jauh sebelum angka menjadi penting, Adam pernah berjalan di bumi dengan bekas air mata yang belum sempat mengering. Hari-hari dilalui dengan menahan perasaan bersalah, menanti sesuatu yang bisa disebut pulang. Di satu pagi 10 Muharram, langit akhirnya membukakan pintu: taubat diterima, luka lama berubah jadi bekas. Tidak ada selebrasi, hanya rasa cukup, bahwa jatuh pun bisa diberi kesempatan kedua.
Lain waktu, Nuh menatap hamparan air yang tak kunjung surut. Kapal melayang-layang, membawa harapan dan sisa-sisa iman dari dunia yang ditenggelamkan. Lalu pada hari yang sama—masih 10 Muharram—kapal itu menepi di Bukit Judi. Di sanalah, ucapan syukur naik pelan, bukan karena perjalanan sudah selesai, tapi karena ada kesempatan untuk memulai lagi, di tanah yang baru.
Api pernah mengancam Ibrahim. Bara membara, janji-janji manusia putus di udara. Tapi waktu memilih berhenti, dan pada hari Asyura, panas itu padam, menjadi dingin. Tidak ada teriakan kemenangan, hanya kelegaan yang tiba-tiba turun begitu saja.
Sementara Idris, di antara riuh dunia yang selalu meminta lebih, memilih diangkat ke langit. Tidak banyak cerita tentang perpisahannya, kecuali kabar sederhana bahwa kadang pulang tak harus lewat jalan biasa.
Yusuf pernah dihukum di ruang sempit, menunggu hari di mana ketidakadilan akhirnya menyerah pada rencana yang lebih besar. Di tanggal yang sama, pintu penjara terbuka. Tidak ada sambutan, hanya dunia yang perlahan kembali memberi ruang untuk bernapas.
Ayyub menanti dalam sakit yang lama. Hari-hari dilewati dalam sepi, hanya suara dirinya sendiri yang tersisa. Sampai di satu Asyura, derita itu diangkat, tanpa pengumuman. Sembuh bukan berarti lupa, hanya belajar hidup dengan bekas yang tersisa.
Yunus terkurung dalam gelap, di perut ikan yang menahan segala keluh. Doa dilantunkan dari ruang yang tak seharusnya didengar manusia. Pada hari yang sama, lautan mengalah, dan Yunus kembali ke daratan—bukan sebagai pemenang, melainkan sebagai seseorang yang akhirnya tahu kapan harus menunggu dan kapan mulai berjalan lagi.
Isa, di tengah makar kaumnya, diangkat ke langit pada waktu yang sama. Kisahnya bukan tentang kemenangan di dunia, melainkan tentang keselamatan yang datang dari arah yang tak diduga.
Dan Musa, dengan seluruh kaumnya di hadapan lautan yang menutup jalan, melangkah tanpa banyak kata. Air membelah, bukan karena Musa meminta keajaiban, tapi karena waktu memilihnya untuk pulang lewat jalur yang tak pernah dipikirkan siapa pun. Firaun tenggelam, Bani Israil selamat, dan puasa menjadi cara untuk mengingat bahwa syukur paling dalam sering kali datang setelah ketakutan paling besar.
Asyura tidak pernah sekadar tentang puasa. Ada sejarah yang menumpuk, ada keheningan yang belum usai, ada undangan untuk memberi ruang bagi diri sendiri, menahan diri sebelum merasa pantas untuk bersyukur.
Maka, ketika 9 dan 10 Muharram hadir tahun ini, jangan biarkan hanya jadi tanggal yang berlalu. Dua hari ini memang tidak menjanjikan perubahan yang gegap-gempita. Tapi justru di sela-sela rutinitas, perubahan paling nyata seringkali lahir—dari langkah kecil yang kadang tak sempat disadari.
Berpuasalah—karena dua hari ini bukan sekadar ritual, tapi peluang. Satu ruang untuk membebaskan diri dari beban lama yang tak kunjung selesai, satu ruang lagi untuk berlatih memberi maaf pada diri sendiri. Setiap detik menahan haus dan lapar menjadi latihan untuk mengakui batas, menertawakan ambisi, dan perlahan melepaskan rasa bersalah yang selama ini disimpan diam-diam.
Banyak yang mencari mukjizat dengan menunggu dunia berubah. Padahal, di dua hari sederhana ini, perubahan yang terjadi kadang hanya sebentuk keberanian untuk mulai bicara pada diri sendiri. Bisa jadi, setelah puasa itu, akhirnya seseorang berani mengirim pesan yang selama ini disimpan di draf, menelpon seseorang yang terlalu lama dijauhi, atau sekadar mengizinkan diri sendiri tidur lebih tenang tanpa menunggu segalanya sempurna.
Tiba-tiba hati terasa sedikit lebih ringan,kepala tak lagi sesak oleh ingatan dan penyesalan,dan langkah, meski pelan,mulai bergerak menuju hal-halyang selama ini hanya berani dibayangkan.
Bukan berarti semua luka langsung sembuh,tapi setidaknya, luka itu diberi ruang untuk bernapas.Bukan berarti semua masalah hilang,tapi pandangan terhadap masalah ituperlahan berubah—lebih tenang, lebih jernih.
Di dua hari yang sederhana ini, seseorang mungkin akhirnya berani memulai kembali—menghubungi yang sempat jauh, memaafkan yang sulit dilupakan, atau sekadar mengucap terima kasih pada hidup yang telah lama terasa berat. Mungkin, di antara jeda dan reda yang tercipta lewat puasa Tasua dan Asyura, lahir keberanian baru untuk menjalani hari-hari berikutnya dengan versi diri yang lebih jujur, lebih lembut, lebih berani menerima.
Ambil dua hari itu, beri ruang pada diri sendiri, dan izinkan mukjizat mengetuk pintu rumah dengan cara yang sederhana: cukup dengan menahan, cukup dengan berharap, cukup dengan memulai. Karena perubahan besar kadang tidak datang lewat gemuruh, tapi lewat keputusan kecil—untuk berpuasa, untuk menahan, dan untuk memberi kesempatan pada hidup yang baru.
Sebab kadang, hidup berubah bukan karena keadaan, tapi karena cara memandang luka dan harapan. Dan dua hari di Muharram ini, barangkali, adalah titik paling sederhana di mana perubahan besar diam-diam mulai tumbuh.
0 Komentar