Tahun ini, haji bukan cuma soal
rukun Islam kelima. Tapi tentang siapa yang berani menanggung luka dari sistem
yang tak lagi mampu menyambut niat suci dengan prosedur yang manusiawi.
Tentang bagaimana sebuah ibadah
yang selama ini kita agungkan, perlahan-lahan direduksi menjadi daftar nama,
sistem antrean, dan pertanyaan: "apakah datamu lolos? apakah hotelmu
terverifikasi? apakah kamu tidak sakit?"
Bukan cuma ribuan jemaah yang
gagal berangkat karena visa furoda dihentikan. Tapi juga ribuan harapan yang
dipaksa menunduk di depan keputusan sepihak—yang datang bukan sebagai musibah
dari langit, tapi sebagai sistem dingin yang bicara seperti mesin: akses
ditolak, silakan hubungi penyelenggara.
Padahal yang hilang bukan akses.
Tapi mimpi.
Yang hilang bukan slot visa. Tapi
air mata yang ditabung tiap habis tahajud. Yang hilang bukan kepercayaan pada
sistem, tapi kepercayaan bahwa ibadah ini masih bisa ditempuh dengan cara
manusiawi.
Dan sebelum kecewa itu kering,
datang lagi kabar:
kuota haji Indonesia bisa dipotong sampai 50% di tahun 2026.
Kenapa? Karena data jemaah
dinilai tak akurat. Karena ada yang meninggal bahkan sebelum sampai ke Makkah. Karena
katanya, sistem kita belum layak mengatur manusia sebanyak itu. Lalu keluar
kalimat yang terasa seperti tamparan tapi juga cermin:
“Why do you bring people to death
here?”
—Pejabat Saudi, pada wajah
diplomasi kita.
Kata-kata itu tak datang sebagai
sindiran, tapi sebagai pisau.
Pisau yang mengiris langsung ke
jantung narasi lama kita—bahwa Indonesia negara Muslim terbesar, bahwa kita
mampu, bahwa kita siap. Tapi nyatanya? Kita membawa jemaah yang tidak sanggup
berdiri. Kita membawa tubuh-tubuh tua yang dipaksa kuat oleh impian dan doa,
tapi ditelantarkan oleh sistem yang hanya peduli pada jumlah dan jadwal.
Apakah kita sedang menghantarkan
ibadah, atau sekadar memperpanjang daftar angka kematian?
“Why do you bring people to death here?”
Kalimat itu bukan sekadar kritik.
Ia seperti garis batas yang membedakan niat dari tanggung jawab. Kita bilang
ini ibadah. Tapi kita kirim orang-orang yang bahkan tidak bisa lagi naik tangga
sendiri. Kita sebut ini panggilan Allah. Tapi kita biarkan manusia-manusia
renta itu dipanggil duluan oleh kematian—bahkan sebelum sempat thawaf, bahkan
sebelum sempat mencium debu Makkah, bahkan sebelum sempat mengerti bahwa
tubuhnya tak lagi sanggup membalas panggilan suci itu dengan perjalanan yang
layak.
Kita menyalahkan Saudi atas
kalimat tajam itu. Tapi pernahkah kita tanya diri sendiri:
Kenapa kita yang memaksa mereka berangkat?
Kenapa data kesehatan masih jadi
formalitas yang bisa disulap?. Kenapa ada jemaah yang dinyatakan mampu secara
istithaah padahal napasnya saja sudah tinggal sisa-sisa?. Kenapa ada keluarga
yang memaksa kakek mereka berangkat dengan kursi roda, karena katanya “beliau
takut tak sempat kalau tahun depan”?
Apakah haji sudah berubah jadi
semacam perlombaan terakhir?
Apakah ia sekarang adalah
kompetisi antara waktu dan ajal?
Dan kalau iya, siapa yang
menciptakan tekanan itu? Siapa yang membiarkan narasi “harus sekarang” itu
tumbuh begitu besar, sampai tak ada ruang lagi bagi tubuh-tubuh untuk jujur
pada batasnya sendiri?
Yang mati bukan cuma fisik. Yang
benar-benar mati adalah rasa takut untuk jujur: bahwa mungkin belum waktunya. Bahwa
mungkin Allah lebih tahu kapan seharusnya dipanggil. Bahwa mungkin haji bukan
tentang menang-menangan daftar tunggu, tapi tentang kesiapan untuk
ditangguhkan. Tapi siapa yang berani berkata begitu, di hadapan masyarakat yang
mengukur nilai religius dari gelang identitas haji?
Siapa yang bisa menahan diri,
ketika label “haji” sudah jadi kehormatan sosial, bahkan lebih dari sekadar
ritual keimanan?
Kita tahu, tapi kita diam. Karena
di negeri ini, haji sudah terlalu lama dianggap prestasi. Dan prestasi harus
dibayar, meski dengan nyawa.
Visa Furoda: Saat Doa
Dibiarkan Gagal Tanpa Penjelasan
Tak ada pemberitahuan resmi. Tak
ada konferensi pers penuh empati.
Hanya kabar yang mengalir pelan dari mulut ke mulut penyelenggara—bahwa visa
furoda tahun ini tidak diterbitkan.
“Ya betul, pemerintah Saudi tidak
menerbitkan visa furoda tahun ini,”
kata Firman M. Nur, dengan nada yang terdengar lebih sebagai pengumuman pasrah
daripada bentuk tanggung jawab.
Dan seketika, ribuan orang
berhenti. Bukan karena mereka sudah siap menerima takdir,
tapi karena mereka bahkan tak sempat marah dengan layak.
Tak sedikit yang mendapat kabar
pembatalan hanya sehari sebelum keberangkatan.
Bayangkan: koper sudah dikunci, ongkos sudah dilunasi, air mata keluarga sudah
jatuh di bandara. Lalu datang pengumuman dari WhatsApp grup: “Visa
tidak keluar. Mohon bersabar. Semoga jadi pelajaran.”
Pelajaran?
Apa yang sebenarnya sedang kita
pelajari di sini? Bahwa ibadah bisa batal dalam satu klik? Bahwa sistem bisa
menyusutkan satu perjalanan suci menjadi sekadar masalah izin administratif?
Atau jangan-jangan kita sedang
belajar bahwa di dunia ini, bahkan niat paling tulus pun bisa
dibatalkan oleh hal yang tak pernah kau duga: algoritma.
Yang lebih menyakitkan lagi,
bukan hanya jemaah yang dirugikan.
Penyelenggara pun tersungkur bersama mereka. Bukan hanya secara finansial, tapi
secara batin.
Bayangkan kau sudah bayar hotel,
sewa bus, kontrak katering, booking layanan dam, bahkan sudah kirim tim advance
untuk menyambut jemaah—lalu tiba-tiba semua runtuh, dan satu-satunya penjelasan
yang kau terima hanyalah: visa tidak keluar.
Tak ada ganti rugi. Tak ada
negosiasi. Tak ada ruang untuk berkata: “tapi kami sudah siap…”
Dan di titik itu, kau
sadar: ibadah ini bukan milik kita. Ia kini menjadi milik protokol,
milik sistem yang tak lagi peduli pada air mata, milik aturan yang bisa berubah
kapan saja—tanpa tenggat, tanpa diskusi.
Yang lebih tragis: Setelah
semuanya gagal, tanggung jawab itu dilemparkan ke pundak penyelenggara. Dituduh
bodoh, dituduh nakal, dituduh mengambil untung di atas penderitaan orang. Padahal
tak semua begitu. Banyak di antara mereka adalah orang-orang yang mengabdikan
hidup untuk memuliakan jemaah. Tapi sistem tak mengenal motif.
Ia hanya mengenal: gagal, atau
tidak.
Padahal jemaah yang gagal
berangkat bukan sekadar kehilangan uang.
Mereka kehilangan waktu. Kehilangan energi. Kehilangan ruang di hatinya yang
selama ini disiapkan untuk Ka’bah.
Umrah yang Diperketat: Ketika Ziarah Jadi Proyek Wisata
Seolah luka haji belum cukup
kering, datang lagi kabar bahwa umrah kini harus melalui sistem yang lebih
ketat, lebih kaku, dan lebih mahal.
Mulai 10 Juni 2025, visa umrah tak bisa lagi diterbitkan kecuali hotel tempat
jemaah menginap sudah terdaftar di sistem resmi dan mendapat izin
dari Difa’ Madani serta Kementerian Pariwisata Saudi.
Artinya, tak ada lagi ruang untuk
fleksibilitas seenaknya.
Tak ada lagi cerita tentang rombongan kecil dari desa yang bisa berangkat tanpa
kepastian penginapan. Tak ada lagi biro perjalanan yang berani menjanjikan
surga, padahal di lapangan cuma neraka administratif.
Kini, semua harus masuk ke satu
sistem bernama Nusuk—
sebuah platform digital yang, entah disengaja atau tidak, telah mengubah
sebagian proses ibadah menjadi itinerary.
Kau ingin umrah? Pastikan dulu
hotelmu terdaftar.
Pastikan pula pihak ketiga yang memesan punya akses resmi.
Dan sebelum visa keluar, semua detail perjalanan harus disetujui sistem.
Sistem.
Satu kata yang kini terdengar lebih sakral dari doa itu sendiri.
Bayangkan betapa ironisnya: Kau
ingin bertamu ke rumah Tuhan,
tapi harus tunggu izin dari Kementerian Pariwisata. Kau ingin thawaf dengan
hati yang luruh, tapi terlebih dulu harus validasi kamar dan menu makanan di
aplikasi.
Ini bukan lagi sekadar ziarah. Ini
logistik. Dan semakin hari, kita tak bisa lagi membedakan mana ibadah, mana
manajemen turisme. Karena sekarang, keduanya telah dilebur dalam satu algoritma
yang lebih peduli pada standar bintang hotel, daripada standar hati manusia
yang ingin berserah.
Tapi bukan berarti sistem ini
buruk. Justru di tengah banyaknya manipulasi dan penipuan atas nama agama, keteraturan
semacam ini adalah tameng—agar kesucian tak diperdagangkan seenaknya. Sistem
ini hadir bukan untuk mempersulit, tapi untuk menyaring yang serius dari
yang oportunis. Karena terlalu banyak yang menjual kata "umrah" tanpa
tahu caranya bertanggung jawab.
AMPHURI melihat ini sebagai
peluang: kepastian logistik, keamanan jemaah, dan transparansi proses. Dan itu
memang perlu. Karena tak semua keruwetan berasal dari sistem—kadang manusianya
yang tak tahu malu memanfaatkan celah.
Jadi mungkin, yang harus dibenahi
bukan hanya struktur, tapi niat di baliknya.
Karena tak akan ada sistem yang benar-benar adil, jika yang menjalankannya
lebih takut kehilangan laba daripada kehilangan moral.
Dan jika umrah kini terasa
seperti proyek wisata, bukan karena sistem terlalu rapi,
tapi karena sebagian dari kita masih memperlakukan ibadah sebagai peluang
bisnis,
bukan panggilan kembali ke Tuhan.
BP Haji dan Transisi yang Tak Cukup Hanya Dengan Dokumen
Mulai 2026, tanggung jawab penuh
penyelenggaraan haji Indonesia resmi berpindah dari Kementerian Agama
ke BP Haji. Sebuah keputusan besar, katanya.
Langkah menuju manajemen yang lebih profesional, lebih efisien, lebih
akuntabel.
Tapi siapa yang berani jujur
bahwa ini jauh lebih kompleks dari sekadar ganti lembaga?
Kita bukan sedang menyerahkan
spreadsheet, data logistik, atau skema perjalanan semata. Kita sedang
menyerahkan warisan luka, kekacauan sistem, dan ekspektasi jutaan umat yang
terlalu lama dibesarkan dalam ilusi: bahwa haji pasti, asal daftar.
Bahwa haji mulia, asal punya dana. Bahwa haji suci, bahkan jika dilakukan
dengan tubuh setengah sadar di trotoar Mina.
Dan kini, BP Haji mewarisi
semuanya.
Beban itu tak hanya
administratif. Ia psikis.
Ia historis. Ia menyimpan ribuan kegagalan yang selama ini diredam dalam
laporan.
Mulai dari antrean 47 tahun, hingga
istithaah yang dimanipulasi, hingga visa yang dibatalkan sepihak, hingga jemaah
yang meninggal dalam pesawat—semuanya kini ada dalam meja BP Haji. Dan mereka
harus menata ulang,
sambil tetap menjaga wajah negara yang katanya "pelayan umat."
Kini dibentuk task force bersama
Saudi. Tujuannya baik: memperbaiki, memvalidasi, mengontrol. Ada tiga fokus:
– Validasi kesehatan (istithaah),
– Standar makanan dan akomodasi,
– Kontrol logistik Arafah-Muzdalifah-Mina.
Dan semua terdengar rapi. Sempurna
di atas kertas.
Tapi kita semua tahu: haji bukan seminar. Ia bukan simulasi.
Ia bukan rapat koordinasi dengan notulen bersih dan hasil terukur.
Haji adalah ribuan tubuh dengan
detak yang tak sama.
Adalah rindu yang datang tanpa bisa direncanakan.
Adalah logistik spiritual yang tak selalu bisa diterjemahkan ke dalam matriks
Excel.
Dan BP Haji harus mulai bekerja
dari titik paling lelah: kepercayaan publik yang sudah babak belur.
Kita Sedang Mencicil Kehilangan
Pada akhirnya, tulisan ini bukan
cuma tentang kuota, visa, atau regulasi.
Ini tentang kehilangan. Tentang perlahan-lahan disingkirkannya roh ibadah oleh
manajemen.
Tentang disiplinnya sistem yang tak menyisakan ruang untuk kespontanan iman.
Tentang ritual yang kini harus lulus uji hotel dan barcode dulu sebelum lulus
sebagai doa.
Dan kita tak pernah benar-benar
siap. Karena kita terlalu sibuk belajar syarat haji,
hingga lupa belajar bagaimana menjadi hamba—bukan hanya pelaku
prosedur.
Karena jika yang paling sulit dari berhaji bukan menunggu panggilan Tuhan, tapi bertahan dari rumitnya regulasi, tipu daya biro perjalanan, dan inkonsistensi kebijakan negeri sendiri—maka masalah kita bukan di sistem Arab Saudi, tapi di carut-marut cara kita sendiri memuliakan tamu-Nya.
0 Komentar