2025: Tahun Di Mana Kita Dipaksa Percaya Pada Sistem yang Tak Siap Menerima Kepercayaan

 



Tahun ini, haji bukan cuma soal rukun Islam kelima. Tapi tentang siapa yang berani menanggung luka dari sistem yang tak lagi mampu menyambut niat suci dengan prosedur yang manusiawi.

Tentang bagaimana sebuah ibadah yang selama ini kita agungkan, perlahan-lahan direduksi menjadi daftar nama, sistem antrean, dan pertanyaan: "apakah datamu lolos? apakah hotelmu terverifikasi? apakah kamu tidak sakit?"

Bukan cuma ribuan jemaah yang gagal berangkat karena visa furoda dihentikan. Tapi juga ribuan harapan yang dipaksa menunduk di depan keputusan sepihak—yang datang bukan sebagai musibah dari langit, tapi sebagai sistem dingin yang bicara seperti mesin: akses ditolak, silakan hubungi penyelenggara.

Padahal yang hilang bukan akses. Tapi mimpi.

Yang hilang bukan slot visa. Tapi air mata yang ditabung tiap habis tahajud. Yang hilang bukan kepercayaan pada sistem, tapi kepercayaan bahwa ibadah ini masih bisa ditempuh dengan cara manusiawi.

 

Dan sebelum kecewa itu kering, datang lagi kabar:

kuota haji Indonesia bisa dipotong sampai 50% di tahun 2026.

 

Kenapa? Karena data jemaah dinilai tak akurat. Karena ada yang meninggal bahkan sebelum sampai ke Makkah. Karena katanya, sistem kita belum layak mengatur manusia sebanyak itu. Lalu keluar kalimat yang terasa seperti tamparan tapi juga cermin:

 

“Why do you bring people to death here?”

—Pejabat Saudi, pada wajah diplomasi kita.

 

 

Kata-kata itu tak datang sebagai sindiran, tapi sebagai pisau.

Pisau yang mengiris langsung ke jantung narasi lama kita—bahwa Indonesia negara Muslim terbesar, bahwa kita mampu, bahwa kita siap. Tapi nyatanya? Kita membawa jemaah yang tidak sanggup berdiri. Kita membawa tubuh-tubuh tua yang dipaksa kuat oleh impian dan doa, tapi ditelantarkan oleh sistem yang hanya peduli pada jumlah dan jadwal.

Apakah kita sedang menghantarkan ibadah, atau sekadar memperpanjang daftar angka kematian?

“Why do you bring people to death here?”

Kalimat itu bukan sekadar kritik. Ia seperti garis batas yang membedakan niat dari tanggung jawab. Kita bilang ini ibadah. Tapi kita kirim orang-orang yang bahkan tidak bisa lagi naik tangga sendiri. Kita sebut ini panggilan Allah. Tapi kita biarkan manusia-manusia renta itu dipanggil duluan oleh kematian—bahkan sebelum sempat thawaf, bahkan sebelum sempat mencium debu Makkah, bahkan sebelum sempat mengerti bahwa tubuhnya tak lagi sanggup membalas panggilan suci itu dengan perjalanan yang layak.

Kita menyalahkan Saudi atas kalimat tajam itu. Tapi pernahkah kita tanya diri sendiri:

Kenapa kita yang memaksa mereka berangkat?

 

Kenapa data kesehatan masih jadi formalitas yang bisa disulap?. Kenapa ada jemaah yang dinyatakan mampu secara istithaah padahal napasnya saja sudah tinggal sisa-sisa?. Kenapa ada keluarga yang memaksa kakek mereka berangkat dengan kursi roda, karena katanya “beliau takut tak sempat kalau tahun depan”?

Apakah haji sudah berubah jadi semacam perlombaan terakhir?

Apakah ia sekarang adalah kompetisi antara waktu dan ajal?

Dan kalau iya, siapa yang menciptakan tekanan itu? Siapa yang membiarkan narasi “harus sekarang” itu tumbuh begitu besar, sampai tak ada ruang lagi bagi tubuh-tubuh untuk jujur pada batasnya sendiri?


Yang mati bukan cuma fisik. Yang benar-benar mati adalah rasa takut untuk jujur: bahwa mungkin belum waktunya. Bahwa mungkin Allah lebih tahu kapan seharusnya dipanggil. Bahwa mungkin haji bukan tentang menang-menangan daftar tunggu, tapi tentang kesiapan untuk ditangguhkan. Tapi siapa yang berani berkata begitu, di hadapan masyarakat yang mengukur nilai religius dari gelang identitas haji?

Siapa yang bisa menahan diri, ketika label “haji” sudah jadi kehormatan sosial, bahkan lebih dari sekadar ritual keimanan?

Kita tahu, tapi kita diam. Karena di negeri ini, haji sudah terlalu lama dianggap prestasi. Dan prestasi harus dibayar, meski dengan nyawa.

 

Visa Furoda: Saat Doa Dibiarkan Gagal Tanpa Penjelasan
 

Tak ada pemberitahuan resmi. Tak ada konferensi pers penuh empati.
Hanya kabar yang mengalir pelan dari mulut ke mulut penyelenggara—bahwa visa furoda tahun ini tidak diterbitkan.

“Ya betul, pemerintah Saudi tidak menerbitkan visa furoda tahun ini,”
kata Firman M. Nur, dengan nada yang terdengar lebih sebagai pengumuman pasrah daripada bentuk tanggung jawab.

Dan seketika, ribuan orang berhenti. Bukan karena mereka sudah siap menerima takdir,
tapi karena mereka bahkan tak sempat marah dengan layak.

Tak sedikit yang mendapat kabar pembatalan hanya sehari sebelum keberangkatan.
Bayangkan: koper sudah dikunci, ongkos sudah dilunasi, air mata keluarga sudah jatuh di bandara. Lalu datang pengumuman dari WhatsApp grup: “Visa tidak keluar. Mohon bersabar. Semoga jadi pelajaran.”

Pelajaran?

Apa yang sebenarnya sedang kita pelajari di sini? Bahwa ibadah bisa batal dalam satu klik? Bahwa sistem bisa menyusutkan satu perjalanan suci menjadi sekadar masalah izin administratif?

Atau jangan-jangan kita sedang belajar bahwa di dunia ini, bahkan niat paling tulus pun bisa dibatalkan oleh hal yang tak pernah kau duga: algoritma.


Yang lebih menyakitkan lagi, bukan hanya jemaah yang dirugikan.
Penyelenggara pun tersungkur bersama mereka. Bukan hanya secara finansial, tapi secara batin.

Bayangkan kau sudah bayar hotel, sewa bus, kontrak katering, booking layanan dam, bahkan sudah kirim tim advance untuk menyambut jemaah—lalu tiba-tiba semua runtuh, dan satu-satunya penjelasan yang kau terima hanyalah: visa tidak keluar.

Tak ada ganti rugi. Tak ada negosiasi. Tak ada ruang untuk berkata: “tapi kami sudah siap…”

Dan di titik itu, kau sadar: ibadah ini bukan milik kita. Ia kini menjadi milik protokol, milik sistem yang tak lagi peduli pada air mata, milik aturan yang bisa berubah kapan saja—tanpa tenggat, tanpa diskusi.


Yang lebih tragis: Setelah semuanya gagal, tanggung jawab itu dilemparkan ke pundak penyelenggara. Dituduh bodoh, dituduh nakal, dituduh mengambil untung di atas penderitaan orang. Padahal tak semua begitu. Banyak di antara mereka adalah orang-orang yang mengabdikan hidup untuk memuliakan jemaah. Tapi sistem tak mengenal motif.

Ia hanya mengenal: gagal, atau tidak.


“Apakah itu uang dikembalikan, atau digunakan untuk haji tahun depan. Yang penting tidak ada yang dirugikan,” kata seorang pejabat dari DPR, seolah masalah ini hanya perkara ‘kapan uang kembali’.

Padahal jemaah yang gagal berangkat bukan sekadar kehilangan uang.
Mereka kehilangan waktu. Kehilangan energi. Kehilangan ruang di hatinya yang selama ini disiapkan untuk Ka’bah.

 

 

Umrah yang Diperketat: Ketika Ziarah Jadi Proyek Wisata

Seolah luka haji belum cukup kering, datang lagi kabar bahwa umrah kini harus melalui sistem yang lebih ketat, lebih kaku, dan lebih mahal.
Mulai 10 Juni 2025, visa umrah tak bisa lagi diterbitkan kecuali hotel tempat jemaah menginap sudah terdaftar di sistem resmi dan mendapat izin dari Difa’ Madani serta Kementerian Pariwisata Saudi.

Artinya, tak ada lagi ruang untuk fleksibilitas seenaknya.
Tak ada lagi cerita tentang rombongan kecil dari desa yang bisa berangkat tanpa kepastian penginapan. Tak ada lagi biro perjalanan yang berani menjanjikan surga, padahal di lapangan cuma neraka administratif.

Kini, semua harus masuk ke satu sistem bernama Nusuk—
sebuah platform digital yang, entah disengaja atau tidak, telah mengubah sebagian proses ibadah menjadi itinerary.


Kau ingin umrah? Pastikan dulu hotelmu terdaftar.
Pastikan pula pihak ketiga yang memesan punya akses resmi.
Dan sebelum visa keluar, semua detail perjalanan harus disetujui sistem.

Sistem.


Satu kata yang kini terdengar lebih sakral dari doa itu sendiri.


Bayangkan betapa ironisnya: Kau ingin bertamu ke rumah Tuhan,
tapi harus tunggu izin dari Kementerian Pariwisata. Kau ingin thawaf dengan hati yang luruh, tapi terlebih dulu harus validasi kamar dan menu makanan di aplikasi.

Ini bukan lagi sekadar ziarah. Ini logistik. Dan semakin hari, kita tak bisa lagi membedakan mana ibadah, mana manajemen turisme. Karena sekarang, keduanya telah dilebur dalam satu algoritma yang lebih peduli pada standar bintang hotel, daripada standar hati manusia yang ingin berserah.


Tapi bukan berarti sistem ini buruk. Justru di tengah banyaknya manipulasi dan penipuan atas nama agama, keteraturan semacam ini adalah tameng—agar kesucian tak diperdagangkan seenaknya. Sistem ini hadir bukan untuk mempersulit, tapi untuk menyaring yang serius dari yang oportunis. Karena terlalu banyak yang menjual kata "umrah" tanpa tahu caranya bertanggung jawab.


AMPHURI melihat ini sebagai peluang: kepastian logistik, keamanan jemaah, dan transparansi proses. Dan itu memang perlu. Karena tak semua keruwetan berasal dari sistem—kadang manusianya yang tak tahu malu memanfaatkan celah.


Jadi mungkin, yang harus dibenahi bukan hanya struktur, tapi niat di baliknya.
Karena tak akan ada sistem yang benar-benar adil, jika yang menjalankannya lebih takut kehilangan laba daripada kehilangan moral.

Dan jika umrah kini terasa seperti proyek wisata, bukan karena sistem terlalu rapi,
tapi karena sebagian dari kita masih memperlakukan ibadah sebagai peluang bisnis,
bukan panggilan kembali ke Tuhan.

 

BP Haji dan Transisi yang Tak Cukup Hanya Dengan Dokumen

Mulai 2026, tanggung jawab penuh penyelenggaraan haji Indonesia resmi berpindah dari Kementerian Agama ke BP Haji. Sebuah keputusan besar, katanya.
Langkah menuju manajemen yang lebih profesional, lebih efisien, lebih akuntabel.

Tapi siapa yang berani jujur bahwa ini jauh lebih kompleks dari sekadar ganti lembaga?

Kita bukan sedang menyerahkan spreadsheet, data logistik, atau skema perjalanan semata. Kita sedang menyerahkan warisan luka, kekacauan sistem, dan ekspektasi jutaan umat yang terlalu lama dibesarkan dalam ilusi: bahwa haji pasti, asal daftar.
Bahwa haji mulia, asal punya dana. Bahwa haji suci, bahkan jika dilakukan dengan tubuh setengah sadar di trotoar Mina.

Dan kini, BP Haji mewarisi semuanya.


Beban itu tak hanya administratif. Ia psikis.
Ia historis. Ia menyimpan ribuan kegagalan yang selama ini diredam dalam laporan.

Mulai dari antrean 47 tahun, hingga istithaah yang dimanipulasi, hingga visa yang dibatalkan sepihak, hingga jemaah yang meninggal dalam pesawat—semuanya kini ada dalam meja BP Haji. Dan mereka harus menata ulang,
sambil tetap menjaga wajah negara yang katanya "pelayan umat."


Kini dibentuk task force bersama Saudi. Tujuannya baik: memperbaiki, memvalidasi, mengontrol. Ada tiga fokus:


– Validasi kesehatan (istithaah),
– Standar makanan dan akomodasi,
– Kontrol logistik Arafah-Muzdalifah-Mina.

Dan semua terdengar rapi. Sempurna di atas kertas.
Tapi kita semua tahu: haji bukan seminar. Ia bukan simulasi.
Ia bukan rapat koordinasi dengan notulen bersih dan hasil terukur.

Haji adalah ribuan tubuh dengan detak yang tak sama.
Adalah rindu yang datang tanpa bisa direncanakan.
Adalah logistik spiritual yang tak selalu bisa diterjemahkan ke dalam matriks Excel.

Dan BP Haji harus mulai bekerja dari titik paling lelah: kepercayaan publik yang sudah babak belur.


Kita Sedang Mencicil Kehilangan

Pada akhirnya, tulisan ini bukan cuma tentang kuota, visa, atau regulasi.
Ini tentang kehilangan. Tentang perlahan-lahan disingkirkannya roh ibadah oleh manajemen.
Tentang disiplinnya sistem yang tak menyisakan ruang untuk kespontanan iman.
Tentang ritual yang kini harus lulus uji hotel dan barcode dulu sebelum lulus sebagai doa.

Dan kita tak pernah benar-benar siap. Karena kita terlalu sibuk belajar syarat haji,
hingga lupa belajar bagaimana menjadi hamba—bukan hanya pelaku prosedur.


Karena jika yang paling sulit dari berhaji bukan menunggu panggilan Tuhan, tapi bertahan dari rumitnya regulasi, tipu daya biro perjalanan, dan inkonsistensi kebijakan negeri sendiri—maka masalah kita bukan di sistem Arab Saudi, tapi di carut-marut cara kita sendiri memuliakan tamu-Nya.

 


0 Komentar

KONSULTASI