Berjalan Kaki ke Tanah Suci: Ibadah atau Eksibisi?

Haji Jalan Kaki

Akhir-akhir ini kita disuguhi tontonan baru: orang berhaji jalan kaki. Katanya, ini bentuk totalitas. Katanya lagi, biar “merasakan seperti para nabi.” Tapi lama-lama, aku curiga... ini bukan soal ibadah, ini soal pencitraan. Bukan soal kecintaan pada Baitullah, tapi kecanduan pada spotlight.

Jalan kaki ke Mekkah itu sah-sah aja. Tapi ketika setiap langkah direkam, disunting, diberi caption penuh air mata buatan, dan dibagikan ke Instagram, TikTok, YouTube, bahkan dibuat teaser-nya — aku mulai bingung: ini ibadah, atau trailer film?

Kau bilang ingin merendah, tapi followers naik. Kau bilang ingin dekat dengan Allah, tapi lebih dulu dekat dengan algoritma. Sungguh, zaman ini telah membuat ibadah jadi konten, dan konten jadi kiblat.

Bahkan riya’ pun kini punya sepatu gunung dan action cam.

Dulu, orang pergi haji dengan niat sembunyi-sembunyi. Tak ingin pamer, tak ingin dilihat. Tapi sekarang? Orang baru niat pun udah bikin thread panjang. “Bismillah, insyaAllah aku akan jalan kaki menuju Tanah Suci...” Belum berangkat, udah buka donasi. Belum nyampe, udah buka endorse sandal. Lha?

Jujur aja: kamu benar-benar pengin dekat dengan Allah, atau kamu cuma pengin dianggap lebih suci dari jamaah reguler yang naik Garuda?

Netizen vs Malaikat

Karena kalau ukurannya adalah rasa lelah, maka para tukang becak pun setiap hari berhaji. Kalau ukurannya kaki pegal, maka ibu-ibu pasar itu tiap subuh sudah wukuf di pelataran hidup. Dan kalau ukuran keikhlasanmu hanya bisa dibuktikan dengan banyaknya peluh, mungkin kamu tak sedang beribadah — kamu sedang menyiksa diri atas nama validasi.

Dan jangan salah, yang paling sering menontonmu bukan malaikat, tapi netizen. Yang mencatat amalmu bukan lagi Raqib dan Atid, tapi tim konten dan insight manager.

Lebih parahnya lagi, tren ini membuat ibadah jadi perlombaan.
“Dia bisa jalan kaki 10.000 km, masa kamu naik pesawat?”
“Dia makan roti keras dan tidur di emperan, masa kamu hotel bintang empat?”
Seolah-olah semakin tidak nyaman kamu saat ibadah, semakin suci nilainya.

Padahal, bukankah haji itu panggilan? Bukan tantangan.
Bukan lomba siapa paling sengsara, siapa paling banyak menolak kenyamanan.
Tapi siapa yang hatinya paling berserah.

Rute Panjang, Tapi Tidak Pernah Sampai

Ironinya, semakin panjang perjalananmu, semakin jauh pula kamu dari makna.

Kau mencium Hajar Aswad, tapi tak pernah mencium tangan orang tuamu.
Kau menangis di Multazam, tapi hatimu masih penuh kebencian pada yang tidak satu aliran.
Kau rela jalan ribuan kilometer, tapi tak pernah berjalan lima meter ke masjid depan rumah.

Kau ingin Allah melihat usahamu, tapi lebih sibuk memastikan manusia yang lebih dulu menonton reels-mu.

Ibadah jadi konten

Akhir Kata: Berhenti Berjalan Jika Tak Tahu Ke Mana Hati Pergi

Aku tak ingin mencela. Tapi aku muak dengan cara banyak orang menjual ibadah. Mengemasnya jadi tayangan, membungkusnya jadi “pengalaman spiritual luar biasa” padahal isinya cuma narsisme yang dipoles doa.

Kalau kau memang ingin berhaji karena Allah, cukup berjalan. Tanpa perlu diumumkan. Tanpa perlu mikrofon dan filter. Karena Allah tak butuh disuguhi drama.

Dan jika kamu merasa tulisan ini menyakitkan — mungkin karena kamu tahu, aku sedang bicara tentangmu.

0 Komentar

Konsultasi